Serangan ke Masjid dan Luapan Kecaman Global Insiden pembakaran Masjid Hajja Hamida kembali membuka luka lama masyarakat Palestina. Serangan ini
Gelombang Kekerasan di Tepi Barat: Serangan ke Masjid Hajja Hamida Picu Kecaman Dunia
Table of Contents
Serangan ke Masjid dan Luapan Kecaman Global
Insiden pembakaran Masjid Hajja Hamida kembali membuka luka lama masyarakat Palestina. Serangan ini terjadi di Desa Deir Istiya pada waktu subuh. Warga melihat api menyala dari dalam masjid, sementara dinding luar penuh coretan bernada rasial. Kejadian tersebut memancing kemarahan banyak pihak, sebab masjid menjadi simbol penting bagi warga setempat.
Selain itu, serangan pemukim Israel ini menambah daftar panjang kekerasan yang terus meningkat sepanjang tahun. Masyarakat internasional pun bereaksi keras. Bahkan, PBB menyampaikan rasa “terganggu” atas tindakan tersebut. Stephane Dujarric menegaskan tanggung jawab Israel sebagai pihak yang menduduki wilayah itu. Karena itu, ia menuntut hukuman tegas bagi para pelakunya.
Sementara itu, Yordania juga mengutuk keras eskalasi kekerasan. Negara itu menilai tindakan pemukim sejalan dengan retorika ekstrem pemerintah Israel. Bahkan, pemerintah Swiss dan Jerman menyerukan penyelidikan transparan. Semua negara itu memandang aksi pembakaran sebagai pelanggaran berat terhadap kemanusiaan.
Di sisi lain, Palestina menilai pernyataan internasional tidak cukup. Mereka meminta langkah nyata, terutama penghentian pasokan senjata ke militer Israel. Menurut mereka, kekerasan terus meningkat karena tidak ada tekanan serius kepada Israel. Dengan demikian, seruan dunia tampak belum mampu meredam kekejaman di lapangan.
Kekerasan Meluas di Tepi Barat
Selain pembakaran masjid, dua anak Palestina tewas akibat tembakan dalam penggerebekan di Beit Ummar. Insiden ini justru memperburuk situasi yang sudah tegang. Lebih jauh lagi, kekerasan meningkat seiring musim panen zaitun yang selalu menjadi periode rentan serangan.
Menurut data OCHA, terjadi lebih dari 167 serangan pemukim sejak awal Oktober. Akibatnya, lebih dari 150 warga Palestina terluka. Selain itu, lebih dari 5.700 pohon zaitun ikut rusak. Angka ini menunjukkan tren kekerasan yang sangat mengkhawatirkan.
Para ahli menilai eskalasi kekerasan mendapat bayangan dari perang Israel di Gaza. Konflik itu telah menewaskan lebih dari 69.000 warga Palestina sejak 2023. Dengan demikian, kondisi di Tepi Barat ikut memanas karena fokus dunia tertuju ke Gaza. Kelompok hak asasi menyebut Israel telah menerapkan sistem de facto apartheid di wilayah itu.
Untuk memberikan gambaran dampak eskalasi, berikut tabel ringkas yang mudah dibaca:
Tabel Data Kekerasan di Tepi Barat (Per Oktober 2025)
| Kategori Kejadian | Jumlah Kasus |
|---|---|
| Serangan pemukim terkait panen zaitun | 167 |
| Korban luka warga Palestina | 150+ |
| Pohon zaitun rusak | 5.700+ |
| Korban tewas dalam razia Beit Ummar | 2 anak |
Melihat tabel tersebut, terlihat jelas bahwa situasi tidak menunjukkan tanda menurun. Bahkan, serangan terhadap rumah warga juga terjadi. Pada insiden di Khirbet Abu Falah, sebuah keluarga nyaris terbakar hidup-hidup. Sang ibu terluka saat melarikan diri. Kejadian itu memperkuat bukti bahwa kekerasan tidak lagi terkontrol.
Tanggapan PBB dan Seruan Keadilan
PBB menilai serangan pemukim berjalan dengan restu tidak langsung dari pihak keamanan Israel. Laporan lembaga hak asasi menyebut beberapa insiden melibatkan personel keamanan. Karena itu, banyak pihak menilai kekerasan bukan insiden spontan, melainkan bagian dari strategi lebih besar untuk memperluas kontrol.
Dujarric menegaskan bahwa Israel harus melindungi warga sipil. Ia juga menyerukan penyelidikan menyeluruh terhadap semua serangan pemukim. Namun, hingga kini belum terlihat langkah signifikan dari pemerintah Israel untuk menghentikan kekerasan.
Di sisi lain, seruan keadilan terus menggema. Masyarakat Palestina meminta dunia bertindak, bukan hanya berbicara. Mereka menilai kecaman tidak berdampak jika tidak disertai sanksi tegas. Karena itu, mereka menuntut penghentian transfer senjata ke Israel. Langkah tersebut dianggap sebagai cara paling efektif menekan kekerasan.
Kesimpulan: Dunia Harus Bertindak Lebih Tegas
Serangan terhadap Masjid Hajja Hamida menandai babak baru dalam gelombang kekerasan di Tepi Barat. Dengan meningkatnya serangan pemukim dan aksi militer, kondisi warga Palestina semakin tidak aman. Dunia memang sudah mengecam, namun kecaman tidak cukup. Karena itu, banyak pihak mendesak tindakan nyata agar kekerasan berkurang dan keadilan tercapai.
Dengan demikian, isu ini tidak lagi sekadar konflik regional. Sebaliknya, dunia melihatnya sebagai pelanggaran kemanusiaan yang harus dihentikan. Selama tidak ada tindakan tegas, warga Palestina akan terus menjadi korban di tanah mereka sendiri.